DEPOK,transnews.co.id – Persoalan sampah seakan tidak ada solusi yang tepat baik dari pemerintah dan masyarakat, lalu bagaimana pendapat Hafid Nasir Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Depok terkait dengan persoalan sampah di Kota Depok ?
Saya melihat persoalan sampah hampir terjadi di kota-kota Besar di Indonesia, termasuk Kota Depok. Populasi jumlah penduduknya setiap tahun di kota Depok meningkat sekitar 1-2 %, dan selain faktor Angka Kelahiran, jumlah penduduk migrasi masuk ke Depok lebih banyak dari migrasi keluar Depok.
Bahkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan setengah penduduk Kota Depok adalah pendatang, sehingga pastinya banyak fasilitas dasar yang harus disiapkan pemerintah agar mereka mendapatkan hak-hak nya sebagai warga negara, seperti kebutuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Sehingga kalau bicara persoalan Sampah di Depok, penjelasannya bukan dari persoalan kekinian yang timbul, tapi harus dari sejarahnya Kota depok dan apa saja yang sudah dilakukan, kendala apa yang sampai sekarang belum tuntas diselesaikan pemerintah, sehingga pendapat kita tentang persoalan sampah di Depok bisa lebih bijak dan obyektif, jelas Hafid Nasir Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Depok.
PA Cipayung resmi beroperasi yaitu tahun 1984 dengan luas total 10,6 hektar atau 11 kali lebih kecil dari TPA Bantar Gebang Bekasi yang memiliki luas 110,3 hektar. Pada saat itu Depok masih berstatus Kota Administratif (Kotif Depok ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud tanggal 18 Maret 1982) dengan tiga kecamatan dan tujuh belas desa dan penduduk kurang dari 1 juta orang.
Tanggal 27 April 1999 Depok oleh Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai Kotamadya terdiri dari 6 Kecamatan dan 63 Kelurahan (Tahun 2007 Kota Depok dimekarkan menjadi 11 Kecamatan dan 63 kelurahan, jumlah penduduk Kota Depok di tahun 2024 sudah diatas 2 juta. Pemerintah Kota Depok dengan segala keterbatasan harus menyelesaikan persoalan secara mandiri (Otonomi Daerah ditetapkan melalui keputusan Presiden tahun 1996). Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Seiring dengan perjalanan perkembangan Kota Depok, sejak Depok ditetapkan sebagai Kotamadya, dan memiliki keterbatasan anggaran, Pemerintah bersama DPRD harus menyelesaikan persoalan infrastruktur dan non infrastruktur yang masuk dalam urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat serta sosial maupun yang wajib tidak terkait dengan pelayanan dasar yaitu tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah, maupun penanaman modal.
Saya ingat ketika dilantik pertama kali menjadi wakil rakyat di tahun 2014, pembahasan rancangan peraturan daerah tentang RTRW kota Depok masih belum rampung, padahal Depok sudah menjadi Kotamadya sejak tahun 1999. Pembahasan RT/RW pastinya perlu berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat dan Propinsi, Pemerintah Depok dan DPRD Depok tidak bisa membahasnya sendirian.
Penataan ruang perlu kebijakan dalam bentuk perda RTRW dan perda RDTR, sehingga berimbas pula dengan lahan fasos fasum sesuai dengan peruntukkannya. TPA Cipayung sudah overload dan butuh perluasan, namun penanganan dan pengelolaan TPA harus masuk dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mengintegrasikan kebijakan pembangunan kawasan dan pelestarian lingkungan termasuk keberadaan TPA Cipayung. Jadi secara kebijakan tidak mudah untuk melakukan perluasan TPA tanpa intervensi pemerintah Pusat dan Propinsi.
Serentetan dinamika sejarah kota Depok, populasi jumlah penduduk yang terus meningkat, Urusan pemerintahan Wajib yang perlu di prioritaskan dan kemampuan anggaran daerah Pemerintah Kota Depok, kebijakan otonomi daerah dan kebijakan lokal yang pada akhirnya pemerintah kota Depok butuh waktu untuk menyelesaikan persoalan sampah.
Alhamdulillah pemerintah kota Depok dengan raihan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan propinsi Jawa Barat, di tahun 2024 adalah yang ke-13 secara berturut-turut dan penghargaan lainnya yang diterima Pemerintah Kota Depok bekerja sama dengan DPRD Depok tentunya, hasil rapat kami (Badan Anggaran DPRD Kota Depok) dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota Depok dan Kementerian PUPR akan membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di area UPTD Pengelolaan Sampah Terpadu di Cipayung, ditargetkan pembangunan TPST selesai tahun ini (tahun 2024) dengan kapasitas 300 ton sampah per hari untuk dijadikan bahan bakar atau Refused Derived Fuel (RDF).
Kemudian setelah sekian tahun tertunda, terhitung tanggal 20 Agustus 2024 Pemerintah Kota Depok akhirnya bisa membuang sampah ke Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Propinsi Jawa Barat Lulut Nambo di Kabupaten Bogor, operasional fase kesatu sebanyak 10 ton per hari, yang kedepan bisa lebih banyak lagi.
Kemudian penggunaan Insinerator yang merupakan upaya pemerintah Kota Depok untuk menyelesaikan persoalan sampah di hulu atau di Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang ada di kelurahan atau kecamatan. Insinerator merupakan alat yang digunakan untuk membakar limbah dalam bentuk padat dan dioperasikan dengan memanfaatkan teknologi pembakaran pada suhu tertentu. Informasinya sedang dalam tahapan pengadaan, sebagai uji coba penggunaan 2 unit Insinerator dan mudah-mudahan bisa beroperasi akhir tahun 2024 dengan kapasitas 5 ton per hari. Dari penjelasan ini, In syaa Allah tahun 2025 Pemerintah Kota depok sudah bisa menyelesaikan persoalan penumpukan sampah di TPA Cipayung, jelas Hafid Nasir.
Perubahan yang besar bermula dari hal-hal kecil. Mulai rubah kebiasaan buruk dengan mulai dari diri sendiri melakukan pemilahan sampah dari hulu atau rumah masing-masing. Jika perilaku atau kebiasaan memilah sampah organik dan anorganik di rumah tidak terwujud, dalam jangka waktu yang lama akan berakibat fatal, tidak hanya menyebabkan menggunungnya sampah di TPA Cipayung, tapi bercampurnya sampah plastik dengan sampah organik lainnya di TPA bisa mencemari air tanah, sampah plastik juga bisa menyebabkan polusi udara bila dibakar di tempat terbuka (pencemaran udara) dan bisa menyebabkan berbagai macam penyakit. Sampah plastik termasuk jenis sampah yang sulit terurai oleh proses alam.
Pemerintah Kota Depok sejak tahun 2006 sudah menggagas pendirian Unit Pengolahan Sampah (UPS) di Kelurahan atau Kecamatan mendekati TPS-TPS yang ada di perumahan dan pemukiman. Targetnya agar sampah yang diangkut ke TPA Cipayung hanya tinggal sisa atau residu. Hingga tahun 2019 ada 32 unit UPS yang beroperasi di Kota Depok dan tersebar di 11 Kecamatan, dan keberadaannya adalah untuk pengolahan sampah organik yang di terima dari TPS-TPS terdekat untuk dijadikan pupuk. Namun keberadaan UPS nampaknya tidak bisa optimal karena kebiasaan memilah sampah dari rumah masing-masing belum terlaksana secara baik dan butuh sosialisasi dan pemahaman ke warga terkait pentingnya memilah sampah di rumah.
Pemerintah Kota Depok bersama dengan DPRD Kota Depok telah menyusun Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok tentang Pengelolaan sampah, tanggal 7 Mei 2014 ditetapkan sebagai Perda yang didalamnya mengatur pemilahan sampah dimasing-masing rumah tangga dan pembentukan Bank Sampah tingkat RW. Keberadaan perda ini membuat warga paham dan semarak membuat Bank-bank sampah di tingkat RW, namun sayangnya masih sangat rendah pemahaman warga untuk memilah sampah di rumah.
Pemerintah Kota Depok kemudian di tahun 2016 menggelar kegiatan yang dinamakan Partai Ember, hadir di warga sebagai lanjutan dari pemilahan sampah organik dan non organik. Ember merupakan singkatan dari Ekonomis, Mudah dan Bersih. Mekanisme partai ember yaitu pemilahan sampah organik, kemudian dikumpulkan di ember kecil di setiap rumah.
Selanjutnya dikumpulkan lagi di ember besar yang terletak di tengah antara 20-30 rumah dalam satu RT, lalu sampah organik di ember besar diangkut Armada Sampah dari tim Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK). Upaya ini pun tidak berjalan secara baik, meski di 11 Kecamatan sudah terbentuk Koordinator Bank Sampah dan Bank Sampah Induk sebagai mitra DLHK.
Pemerintah Kota Depok terus berupaya untuk bisa menyelesaikan tumpukan sampah di TPA Cipayung, di tahun 2016 bekerja sama dengan Pemerintah Jepang untuk membangun Recycle Center, namun tidak terwujud dikarenakan proses pemilahan sampah belum optimal dilakukan di tingkat RT dan RW.
Rencana Pemerintah Kota Depok untuk melakukan perluasan TPA Cipayung sudah pernah dilakukan sejak tahun 2014 bahkan sudah pernah di anggarkan namun tidak terealisasi, harapannya UPS-UPS yang ada diminta untuk dioptimalkan dan sampai sekarang persoalannya adalah kesadaran kita akan pentingnya pemilahan sampah di rumah, kemudian sampah dalam kondisi terpilah dibuang ke UPS dan sisanya ke TPA Cipayung.
Pemerintah Kota Depok sejak tahun 2018 membangun komunikasi dengan Pemerintah Jawa Barat terkait dengan TPST Nambo, agar Pemerintah Kota Depok bisa mendapatkan jatah untuk membuang sampah kesana sesuai dengan janji Gubernur Jawa Barat pada saat itu, alhamdulillah terealisasi tahun 2024 ini.
Termasuk membangun komunikasi dengan pemerintah pusat sudah dilakukan, dan alhamdulillah tahun ini dapat bantuan dari Kementrian PUPR untuk membangun TPST Cipayung.
Dan inisiatif Pemerintah Kota Depok dengan penggunaan Alat Insinerator, semoga bisa menyelesaikan persoalan penumpukan sampah di TPA Cipayung
Saya mengusulkan kepada pemerintah Kota Depok agar bisa mengganggarkan insentif buat petugas sampah tingkat RW dan UPS serta pengadaan Insinerator di 32 UPS yang ada. Harapannya proses pemilahan sampah dari rumah hingga UPS dapat terlaksana, tutup Hafid Nasir.
Sumber : https://www.transnews.co.id/terkait-persoalan-sampah-di-kota-depok-ini-kata-hafid-nasir/