
RADARDEPOK.COM – Anggota Fraksi PKS DPRD Kota Depok, Ade Firmansyah menilai jika program alokasi dana Rp300 juta per RW per tahun ini, berpotensi menimbulkan sejumlah masalah dalam implementasinya.
“Untuk itu disarankan untuk tidak tergesa-gesa dilaksanakan, sebelum dilakukan kajian mendalam dan komprehensif, terkait aspek hukum, ketentuan administrasi dan dampak sosiologis, atas program alokasi dana Rp300juta per RW per tahun tersebut,” ungkap Ade Firmansyah kepada Radar Depok, Rabu (22/1).
Ada Firmansyah berharap, jangan sampai anggaran berbasis RW ini menimbulkan ragam masalah di kemudian hari. Mulai dari mekanisme penganggaran, pertanggungjawaban administratif, hingga persoalan kesenjangan antar RW, yang berbeda jumlah penduduk.
“Yang memicu pemekaran RW dan pembengkakan alokasi belanja APBD untuk memenuhi alokasi Dana Rp300juta per RW ini,” jelas Ade Firmansyah.
Dalam mekanisme penganggaran, sambung Ade Firmansyah, penting ditentukan dasar hukum yang digunakan sebagai landasan legal atas penganggaran kegiatan, baik itu Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), Peraturan Daerah (Perda) dan ketentuan lainnya. Termasuk Dokumen Perencanaan Daerah atau RPJMD berupa Perda yang akan dijadikan acuan. Sementara saat ini Walikota terpilih belum dilantik.
“Penetapan mata anggaran dalam APBD juga harus melalui persetujuan DPRD. Ini diatur dengan jelas dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri terkait APBD,” ucap Ade Firmansyah.
“Sementara itu, panduan Musrenbang yang berisi Juklak Juknis Alokasi Dana Rp300juta per RW sudah disosialisasikan Bappeda, padahal belum melalui pembahasan dengan Badan Anggaran DPRD. Secara prosedural, ini menyalahi ketentuan dan etika pemerintahan,” terang Ade Firmansyah.
Ade Firmansyah menambahkan. pertanggungjawaban administratif alokasi dana Rp300juta per RW ini, juga belum ada penjelasan lebih lanjut terkait siapa Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sebagaimana diatur dalam PP 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Apakah RW bisa menjadi KPA, atau penerima hibah bansos. Apakah KPA nya Lurah dan atau Camat, lalu bagaimana pertanggungjawaban administratif atas pelaksanaan kegiatannya. Apakah dikerjakan oleh tiap RW atau oleh staf Kelurahan dan Kecamatan. Tanpa kejelasan tata administrasi, alokasi anggaran berpotensi fraud atau penyalahgunaan dana secara tidak bertanggungjawab,” jelas Ade Firmansyah.
Sementara itu, sambung Ade Firmansyah, perbedaan kondisi demografi penduduk di tiap RW juga berpotensi mengundang masalah lain. Antara RW berpenduduk sedikit dengan RW padat penduduk, bisa mengundang kecemburuan akibat ketimpangan alokasi anggaran dan memicu pemekaran RW secara masif.
“Ini berpotensi kerawanan sosial dan pembengkakan anggaran dana Rp300juta per RW,” beber Ade Firmansyah.
“Untuk itu disarankan untuk lebih berhati-hati, lakukan kajian terlebih dahulu, dan ikuti ketentuan hukum dan perundangan, serta prosedur yang benar,” pungkas Ade Firmansyah, Anggota Banggar DPRD Kota Depok ini. ***